Hot Posts

6/recent/ticker-posts

Mengenang Sang Jenderal: Kisah Heroik D.I. Panjaitan di Tengah Badai Sejarah


Setiap lembar sejarah bangsa Indonesia dihiasi oleh kisah-kisah kepahlawanan yang tak lekang oleh waktu. Salah satu nama yang patut dikenang dengan hormat adalah Mayor Jenderal Anumerta D.I. Panjaitan, seorang perwira tinggi militer yang gugur sebagai kusuma bangsa dalam tragedi kelam Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI) tahun 1965. 

Kisah hidupnya adalah cerminan dedikasi, integritas, dan pengorbanan tanpa batas demi tegaknya Pancasila dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Akar dan Jejak Awal Kehidupan

Donald Isaac Panjaitan, demikian nama lengkapnya, dilahirkan di Balige, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, pada tanggal 9 Juni 1925. Ayahnya adalah seorang pegawai pada Jawatan Kereta Api, sementara ibunya merupakan seorang ibu rumah tangga. 

Ia tumbuh besar dalam keluarga yang kental dengan nilai-nilai adat dan religius, sebuah fondasi kuat yang membentuk karakter dan kepribadiannya di kemudian hari. 

Pendidikan awal D.I. Panjaitan dimulai di HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Balige, kemudian melanjutkan ke MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Tarutung, dan akhirnya menempuh pendidikan di AMS (Algemene Middelbare School) di Medan. Jenjang pendidikan yang ditempuhnya menunjukkan bahwa ia memiliki kecerdasan dan semangat belajar yang tinggi sejak muda.

Karir Militer: Dari Prajurit Hingga Jenderal

Jiwa patriotisme D.I. Panjaitan mulai terlihat jelas ketika ia memutuskan untuk bergabung dengan militer. Pada masa pendudukan Jepang, ia sempat masuk dalam pendidikan militer Giyugun di Pematangsiantar. Pengalaman ini memberinya bekal awal dalam strategi dan disiplin militer.

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, D.I. Panjaitan secara aktif terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Ia bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Karirnya menanjak dengan pesat berkat kemampuan, keberanian, dan loyalitasnya. Ia pernah menjabat sebagai Komandan Batalyon I pada Resimen II Tentara dan Teritorium I Sumatera Utara.

Perjalanan karirnya tak berhenti di medan pertempuran. Ia juga diutus untuk mengikuti pendidikan militer di luar negeri, tepatnya di Military Attache Education di Amerika Serikat. Sekembalinya dari pendidikan, ia dipercaya untuk menduduki berbagai posisi strategis dalam Angkatan Darat. 

Salah satu jabatan penting yang pernah diembannya adalah Kepala Staf Komando Angkatan Darat (KSAD) di Sumatera. Kemudian, ia menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat yang bertanggung jawab dalam bidang Logistik, sebuah posisi krusial yang menunjukkan kepercayaan pimpinan terhadap kapabilitasnya.


Malam Jahanam 30 September 1965: Detik-detik Terakhir Sang Patriot

Tragedi G30S/PKI menjadi lembaran paling kelam dalam sejarah modern Indonesia, sebuah peristiwa yang merenggut nyawa tujuh perwira tinggi Angkatan Darat, termasuk D.I. Panjaitan.

Pada malam naas tanggal 30 September 1965, sekitar pukul 03.00 WIB dini hari, kediaman D.I. Panjaitan di Jalan Hasanudin No. 53, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, digerebek oleh pasukan penculik dari Gerakan 30 September.

Para penculik, yang mengenakan seragam Cakrabirawa, mendobrak masuk rumahnya. Mereka memaksa D.I. Panjaitan untuk ikut. D.I. Panjaitan, yang baru saja terbangun dari tidurnya, dengan tenang menghadapi para penculik. Ia bahkan sempat meminta waktu untuk berganti pakaian dinas, sebuah permintaan yang justru mengundang kemarahan para penculik.

Di tengah suasana mencekam itu, D.I. Panjaitan dengan gagah berani mencoba memberikan perlawanan dan menolak untuk dibawa begitu saja. Namun, jumlah pasukan yang lebih banyak dan bersenjata lengkap membuatnya terdesak. 

Dalam pertempuran singkat yang tak seimbang tersebut, ia tertembak oleh salah satu anggota pasukan G30S/PKI. Ia gugur di tempat, tepat di depan rumahnya sendiri, bersimbah darah. Jasadnya kemudian diangkut dan dibuang ke dalam sebuah sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur, bersama dengan enam perwira tinggi lainnya.

Penemuan dan Pemakaman: Akhir Perjalanan Sang Pahlawan

Selama beberapa hari setelah peristiwa penculikan, keberadaan para jenderal, termasuk D.I. Panjaitan, menjadi misteri. Operasi pencarian besar-besaran pun dilancarkan. Pada tanggal 3 Oktober 1965, berkat informasi dari seorang penarik becak dan penyelidikan yang intensif, lokasi sumur tua di Lubang Buaya akhirnya ditemukan.

Proses pengangkatan jenazah dari sumur yang sempit dan dalam tersebut berlangsung dramatis dan penuh haru. Satu per satu jenazah para pahlawan revolusi, termasuk D.I. Panjaitan, berhasil diangkat. Kondisi jenazah yang memprihatinkan menjadi bukti kekejaman G30S/PKI.

Pada tanggal 5 Oktober 1965, bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, jenazah ketujuh pahlawan revolusi, termasuk D.I. Panjaitan, dimakamkan secara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan. 

Upacara pemakaman berlangsung khidmat dan penuh kesedihan, disaksikan oleh ribuan rakyat Indonesia yang berduka. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan pengorbanannya, D.I. Panjaitan dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi dan dinaikkan pangkatnya secara anumerta menjadi Mayor Jenderal.

Kisah D.I. Panjaitan adalah pengingat abadi akan pentingnya menjaga ideologi Pancasila dan kewaspadaan terhadap setiap ancaman yang ingin merongrong keutuhan bangsa. Pengorbanannya, bersama para pahlawan revolusi lainnya, menjadi tonggak sejarah yang mengajarkan kita untuk selalu menghargai persatuan, kesatuan, dan nilai-nilai luhur kebangsaan. Semoga arwah beliau tenang di sisi Tuhan Yang Maha Esa, dan semangat perjuangannya senantiasa menginspirasi generasi penerus bangsa.

Bagus Satriawan
Diolah dari berbagai sumber

Posting Komentar

0 Komentar