Soekarno, atau yang akrab disapa Bung Karno, adalah figur sentral dalam sejarah kemerdekaan Indonesia. Lebih dari sekadar seorang presiden, ia adalah seorang proklamator, orator ulung, pemikir visioner, dan arsitek bangsa yang meletakkan dasar-dasar negara kesatuan Republik Indonesia.
Perjalanan hidupnya yang penuh gejolak, dari masa muda hingga akhir hayatnya, adalah cerminan perjuangan panjang sebuah bangsa untuk meraih kemerdekaan dan menentukan nasibnya sendiri.
Kelahiran dan Latar Belakang Keluarga
Soekarno lahir dengan nama Koesno Sosrodihardjo pada hari Kamis Pon, 6 Juni 1901, di Surabaya. Tepatnya di kampung Pandean yang terletak di pusat kota Surabaya, Jawa Timur. Ia adalah putra dari pasangan Raden Soekemi Sosrodihardjo, seorang guru, dan Ida Ayu Nyoman Rai, seorang bangsawan Bali.
Nama "Soekarno" sendiri diberikan oleh ayahnya setelah ia sering sakit-sakitan di masa kecil. Lingkungan keluarga yang multikultural ini, dengan ayah Jawa dan ibu Bali, serta latar belakang pendidikan yang cukup baik dari sang ayah, membentuk pemikiran Soekarno sejak dini, terutama dalam hal nasionalisme dan keberagaman.
Pendidikan dan Pengaruh Intelektual
Pendidikan Soekarno dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Mojokerto, kemudian dilanjutkan di Europesche Lagere School (ELS) di Surabaya. Ia kemudian menempuh pendidikan di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya, sebuah sekolah menengah atas bergengsi pada masanya.
Di Surabaya pula, Soekarno muda mendapatkan pemikiran-pemikiran revolusioner dari H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, yang menjadi ayah angkatnya. Tjokroaminoto adalah sosok yang memperkenalkan Soekarno pada dunia pergerakan dan politik, serta memberinya akses ke berbagai bacaan dan diskusi tentang ideologi-ideologi besar dunia seperti Marxisme, nasionalisme, dan Islamisme.
Setelah HBS, Soekarno melanjutkan studinya ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB) pada tahun 1921 dan lulus sebagai insinyur sipil pada tahun 1926. Masa kuliah ini tidak hanya mengasah kemampuan intelektualnya tetapi juga menjadi ajang baginya untuk lebih mendalami teori-teori politik dan mengembangkan konsep-konsep perjuangan kemerdekaan. Ia aktif dalam organisasi mahasiswa dan mulai menulis artikel-artikel yang menyuarakan semangat nasionalisme.
Karir dan Sejarah Politik: Dari Aktivis hingga Pemimpin
Jiwa aktivis Bung Karno mulai terlihat jelas pasca-kelulusannya. Pada tahun 1927, ia bersama beberapa tokoh nasionalis lainnya mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI menjadi wadah perjuangan politik yang menuntut kemerdekaan penuh bagi Indonesia.
Akibat aktivitas politiknya yang semakin radikal, Bung Karno berulang kali ditangkap dan dipenjarakan oleh pemerintah kolonial Belanda, bahkan diasingkan ke berbagai tempat seperti Ende (Flores) dan Bengkulu. Di masa pengasingan inilah, pemikiran-pemikiran Bung Karno semakin matang, termasuk konsep Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara.
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), Bung Karno, bersama Mohammad Hatta, memilih jalur kooperatif dengan Jepang demi mempersiapkan kemerdekaan. Meskipun mendapat kritik, langkah ini dianggap strategis untuk mendapatkan posisi tawar dan mempersiapkan infrastruktur bagi kemerdekaan.
Di masa ini, Bung Karno aktif dalam berbagai organisasi bentukan Jepang seperti Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA) dan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di mana ia menyampaikan pidato monumental tentang Pancasila pada 1 Juni 1945.
Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan
Momen paling puncaknya dalam sejarah politik Bung Karno adalah pada 17 Agustus 1945. Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, terjadi desakan dari golongan muda agar proklamasi kemerdekaan segera dilakukan.
Peristiwa Rengasdengklok menjadi saksi bisu "penculikan" Bung Karno dan Bung Hatta oleh para pemuda untuk mendesak mereka memproklamasikan kemerdekaan tanpa campur tangan Jepang.
Pada pagi hari yang bersejarah itu, di kediamannya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 (sekarang Jalan Proklamasi), Jakarta, Bung Karno dengan lantang membacakan teks proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Momen yang ringkas namun penuh makna itu menandai lahirnya sebuah negara baru, yang kemudian dilanjutkan dengan pengibaran bendera Merah Putih dan menyanyikan lagu Indonesia Raya.
Sejarah selama Menjadi Presiden Indonesia
Setelah proklamasi, Bung Karno dan Bung Hatta diangkat sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama. Masa kepemimpinannya sebagai presiden pertama (1945-1967) adalah periode yang sangat dinamis dan penuh tantangan.
Pada awal kemerdekaan, Indonesia harus menghadapi agresi militer Belanda yang ingin kembali menjajah (Agresi Militer I dan II). Bung Karno memainkan peran penting dalam diplomasi internasional untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Di bawah kepemimpinannya, Indonesia berhasil meraih pengakuan penuh kedaulatan pada Konferensi Meja Bundar tahun 1949.
Bung Karno juga memimpin pembangunan nasional, termasuk proyek-proyek monumental seperti pembangunan Monumen Nasional (Monas), Gelora Bung Karno, dan berbagai infrastruktur lainnya.
Dalam politik luar negeri, Bung Karno adalah penggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada tahun 1955, yang melahirkan semangat Gerakan Non-Blok (GNB). Ia menjadi salah satu tokoh terkemuka dalam menyuarakan persatuan negara-negara berkembang dan menentang imperialisme.
Meskipun demikian, masa kepemimpinan Bung Karno juga diwarnai dengan gejolak politik dalam negeri. Setelah era demokrasi parlementer yang tidak stabil, Soekarno memperkenalkan sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959. Sistem ini memusatkan kekuasaan di tangan presiden dengan alasan untuk menjaga stabilitas dan kesatuan bangsa.
Namun, kebijakan ini juga dikritik karena dianggap membatasi kebebasan berdemokrasi dan cenderung otoriter. Di era ini, Bung Karno "berdekatan" pada kelompok komunis yang kemudian memicu polarisasi politik yang tajam.
Kejatuhan dan Akhir Hayat
Titik balik dalam sejarah kepemimpinan Bung Karno adalah peristiwa Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965. Peristiwa yang hingga kini masih menjadi perdebatan sengit dalam sejarah Indonesia ini, di mana terjadi pembunuhan enam jenderal Angkatan Darat, menempatkan Bung Karno dalam posisi sulit. Meskipun ia berusaha meredakan situasi, tuduhan bahwa PKI terlibat dalam peristiwa tersebut, dan kedekatan Bung Karno dengan partai tersebut memicu kemarahan publik dan militer.
Tekanan dari mahasiswa dan militer semakin kuat, memuncak pada lahirnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) pada 11 Maret 1966. peristiwa yang hingga saat ini masih menjadi polemik karena kertas surat perintah yang asli sampai saat ini tidak pernah ditemukan. Surat yang menyatakan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Sejak saat itu, kekuasaan Bung Karno perlahan-lahan meredup. Ia secara bertahap dilucuti dari kekuasaannya, hingga akhirnya pada Sidang Umum MPRS Maret 1967, ia diberhentikan dari jabatannya sebagai presiden dan digantikan oleh Soeharto.
Setelah kejatuhannya, Bung Karno ditempatkan dalam status tahanan rumah di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala), Jakarta. Kondisi kesehatannya memburuk drastis akibat berbagai komplikasi penyakit, termasuk ginjal. Ia hidup dalam isolasi dan pengawasan ketat hingga akhir hayatnya.
Bung Karno mengembuskan napas terakhir pada 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta, dalam usia 69 tahun. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Blitar, Jawa Timur pada keesokan harinya.
Pemilihan lokasi pemakaman di Blitar oleh pemerintahan Soeharto ini juga menjadi bahan perdebatan. Disinyalir dipilihnya Blitar sebagai tempat memakamkan Proklamator ini adalah untuk menjauhkan sosok kharismatik tersebut dari para pengagumnya di pusat pemerintahan Jakarta. Pasalnya Bung Karno berwasiat untuk dimakamkan di Batu Tulis, Bogor.
Dalam buku "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" karangan Cindy Adams, Bung Karno mengatakan tidak ingin dikubur dalam kemewahan. Bung Karno mengatakan ingin beristirahat di bawah pohon rindang, dikelilingi pemandangan indah dan berada di sebelah sungai yang memiliki air jernih. Bung Karno hanya ingin berada di sekeliling keindahan negara yang dicintainya dengan kesederhanaan sebagaimana ia hadir.
"Aku mendambakan bernaung di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus. Aku ingin beristirahat di antara bukit yang berombak-ombak dan di tengah ketenangan." kata Bung Karno dalam buku tersebut.
Ia berharap dimakamkan di tempat yang dingin, pegunungan daerah Priangan yang subur, di mana Bung Karno kali pertama bertemu dengan petani bernama Marhaen.
"Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung-gunung dan subur, di mana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen." tambah Soekarno.
Pemakamannya berlangsung sederhana dan khidmat, namun dihadiri oleh ribuan pelayat yang ingin memberikan penghormatan terakhir kepada sang proklamator.
Bung Karno akan selalu dikenang sebagai seorang pemimpin karismatik yang membimbing Indonesia menuju kemerdekaan. Meskipun perjalanan politiknya berakhir dengan tragis, warisannya sebagai proklamator, penggagas Pancasila, dan salah satu tokoh paling berpengaruh di dunia pada masanya, akan terus hidup dalam sanubari bangsa Indonesia.
Bagus Satriawan
Diolah dari berbagai sumber.
0 Komentar